Cerita Siang Kami
Siang ini, seperti biasa sebelum
pulang ke rumah saya menunggu Nisa di sekolah untuk belajar mengaji. Saya dan
Nisa tidak ada bedanya, kami masih sama-sama belajar. Nisa belajar membaca al
Qur’an sementara saya belajar untuk bersabar mendengarkan Nisa mengaji dan
mengoreksi bacaannya jika keliru. Saat kami berdua sedang akan memulai, tiba-tiba
Kiya dan Ayu ikut duduk di sebelah Nisa. Rupanya mereka juga ingin mendengar
bacaan Qur’an Nisa. Duduklah kami berempat di ruang terbuka depan kelas.
Selalu terjadi perdebatan antara
saya dan Nisa sebelum memulai membaca Qur’an. Ini soal
berapa banyak halaman yang akan dia baca. Nisa adalah anak yang cerdas dan kritis. Saya selalu keliru mengucapkan kata lembar dan halaman, dan siang itu saya menyebut dua lembar. Sontak Nisa menimpali, “Bu guru lisa, kalau 2 lembar itu berarti saya harus baca 4 halaman???”. Dalam hati, “tuh kan salah lagi, hehehe”. Saat saya memintanya untuk
membaca dua halaman dia tak mau memulai. Ayu dan Kiya yang masih bersama kami serius melihat kami berdua tawar menawar bacaan. Dan saya pun... “Oke Nisa, satu halaman hari ini, insya Allah besok buguru lisa kasih hadiah kalau ngajinya dua halaman, setuju??” tantangku. Nisa pun tersenyum dan mulai membaca qur’annya.
berapa banyak halaman yang akan dia baca. Nisa adalah anak yang cerdas dan kritis. Saya selalu keliru mengucapkan kata lembar dan halaman, dan siang itu saya menyebut dua lembar. Sontak Nisa menimpali, “Bu guru lisa, kalau 2 lembar itu berarti saya harus baca 4 halaman???”. Dalam hati, “tuh kan salah lagi, hehehe”. Saat saya memintanya untuk
membaca dua halaman dia tak mau memulai. Ayu dan Kiya yang masih bersama kami serius melihat kami berdua tawar menawar bacaan. Dan saya pun... “Oke Nisa, satu halaman hari ini, insya Allah besok buguru lisa kasih hadiah kalau ngajinya dua halaman, setuju??” tantangku. Nisa pun tersenyum dan mulai membaca qur’annya.
Sementara Nisa masih terus
melanjutkan bacaannya, Kiya meninggalkan lingkaran kecil kami. Ayu pun mulai
sibuk sendiri, sayup-sayup terdengar suara ayu yang ternyata mengikuti suara
Nisa yang sedang mengaji. Kok ucapannya sama? Seolah-olah dia hafal ayat demi
ayat yang Nisa baca. Saya diam tersenyum mendengar suara lirih Ayu sampai Nisa
selesai mengaji. Tapi dalam hati bertanya-tanya, “jangan-jangan Ayu sudah hafal
akhir surah al an’am atau mungkin dia sering didengarkan mutottal sama bunda
atau ayahnya? ”, sambil melihat handphone saya merasa apa sih yang tidak
mungkin di muka bumi ini.
Kami pun kembali santai. Tiba-tiba
Kiya datang dan obrolan serius pun dimulai antara Ayu dan Kiya. Saya yang saat
itu tengah asyik mencat-mencet handphone juga ikut menyimak percakapan mereka. Entah
mereka berdua sadar atau tidak dengan adanya saya dibelakang mereka, mereka terus
melanjutkan pembicaraan super serius sampai akhirnya tiba dipertanyaan klimaks
kiya yang membuat saya harus menahan tawa. Mungkin buat kita, pertanyaan
seperti itu ngeledek dan kita akan
tertawa jika mendengarnya. Tapi tidak diantara kedua anak ini. Jelas-jelas saya
melihat keseriusan mereka, dan tidak saling menertawakan atas setiap kata-kata
yang mereka keluarkan sendiri. Pertanyaan kiya tentang warna kulit ayu, yang dengan
polosnya ayu jawab, "saya ikut papaku". Dan jawaban itu sepertinya
cukup logis buat kiya. Karena setelah ayu menjawab, tak ada lagi pertanyaan
lanjutan misalnya, “kenapa kulitmu ikut papamu?”. Saya membiarkan percakapan Kiya dan Ayu terus
berlanjut dengan topik yang berbeda-beda, membiarkan mereka karena tidak ingin membuyarkan suasana imagine mereka, sampai akhirnya salah satu diantara
mereka dijemput orangtuanya.
Dari sini kita bisa belajar
bagaimana menghadapi anak dengan baik. Tentunya kita dituntut untuk lebih sabar.
Tidak hanya itu, stok amunisi jawaban kita atas setiap pertanyaan kreatif
mereka harus lebih beragam dan bisa mereka terima dengan baik. Bukan jawaban
asal-asalan yang memancing pertanyaan baru dari anak, yang jika kita tidak mampu
menjawab hanya akan memancing emosi. Akibatnya, anak lagi kan yang kena ‘emosi’
kita? Padahal kalau dikembalikan lagi, ‘sebabnya’ ada dikita sendiri. Itulah pentingnya
kita mempelajari bagaimana cara mendidik yang baik, mengasuh, menggunakan
bahasa yang seperti apa, sampai pada hal-hal terkecil yang mungkin terlihat
tidak penting. Dan pendidikan itu sudah bisa kita mulai saat belum menemukan
pasangan hidup.
Mendidik anak sudah dimulai saat
kita belum menemukan pasangan hidup kita
Yanthi Haryati
Comments